Pernah di Syibam, ada seorang shalih memegang jabatan hakim. Selama bertahun-tahun tidak ada seorang pun yang mengadukan masalahnya.
Suatu hari ia mengeluh kepada penduduk kota, “Mengapa di antara kalian tak ada yang berkelahi ? Mengapa tak ada yang bersengketa ?”
Penduduk Syibam menjawab, “Penghuni kota ini antara yang satu dan yang lain telah didamaikan Al-Quran. Barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah (Q.S. Asy-Syura (42) ayat 40). Mereka tidak butuh engkau. Apa yang hendak engkau hakimi jika mereka telah bersatu ?”
Akhirnya, sang hakim setiap hari masuk kantor, namun hanya jadi penganggur. Tidak ada seorang pun yang mengunjunginya untuk meminta keputusan sengketa.
Setelah 14 tahun, datang dua orang menemuinya.
“Ada apa ?” tanya hakim.
“Kami ada masalah”, jawab salah seorang tamunya.
“Alhamdu lillah, selamat datang, selamat datang. Selama bertahun-tahun aku merindukan kejadian seperti ini. Kemari dan duduklah. Aku akan bertindak adil kepada kalian”.
Sang hakim pun bersiap-siap dengan penuh semangat untuk menggunakan ilmunya memutuskan dengan adil. Ini kasus pertama dalam 14 tahun.
“Nah, ceritakanlah persoalanmu “
“Aku membeli sebidang tanah dari dia ini. Dalam tanah itu ternyata ada harta karun emas. Pada harta itu terdapat tanda-tanda sebagai peninggalan jaman dahulu (masa sebelum Islam). Berarti harta itu adalah rikaz”
"Benar” sang hakim mengomentari.
“Bila itu rikaz, maka sudah seharusnya menjadi hak pemilik tanah pertama. Aku mendatanginya dengan membawa harta itu. Namun, ia tidak mau menerimanya. Katanya ia telah menjual tanah itu padaku” lanjut orang itu.
“Aneh………??! Inilkah pengaduanmu ? Sekarang, jawablah”, kata sang hakim pada laki-laki yang seorang lagi.
“Pak hakim yang mulia, tanah itu berikut isinya telah saya jual. Saya tidak berhak lagi atas harta itu. Waktu menjual saya tidak berkata, “Saya jual tanah ini tanpa harta karunnya”. Harta itu ada di tanah yang telah saya jual, maka sudah seharusnya harta itu menjadi milik si pembeli”, jawab laki-laki yang kedua.
“Sungguh aneh. Inikah jawabanmu ?”
“Ya”
“Bagaimana pendapat kalian ?” tanya sang hakim selanjutnya.
“Pak hakim yang mulia, anda memahami syari’at Allah, ambillah harta ini dan gunakanlah”, kata keduanya.
“Kalian berdua ingin menyelamatkan diri dan membinasakan hakimmu ya?! Tidak bisa begitu !” tukas sang hakim.
“Bila begitu adililah kami” pinta keduanya.
“Sabarlah. Kalian punya anak ?”
“Ya, aku punya anak perempuan”
“Kamu ?”
“Aku punya anak laki-laki”
“Baiklah. Keluarkan 1/5 harta itu untuk zakat, karena itu rikaz. Sisanya yang 4/5 gunakanlah untuk pernikahan putra dan putri kalian. Sekarang pergilah kalian dari tempatku”, putus sang hakim.
Selengkapnya...
Suatu hari ia mengeluh kepada penduduk kota, “Mengapa di antara kalian tak ada yang berkelahi ? Mengapa tak ada yang bersengketa ?”
Penduduk Syibam menjawab, “Penghuni kota ini antara yang satu dan yang lain telah didamaikan Al-Quran. Barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah (Q.S. Asy-Syura (42) ayat 40). Mereka tidak butuh engkau. Apa yang hendak engkau hakimi jika mereka telah bersatu ?”
Akhirnya, sang hakim setiap hari masuk kantor, namun hanya jadi penganggur. Tidak ada seorang pun yang mengunjunginya untuk meminta keputusan sengketa.
Setelah 14 tahun, datang dua orang menemuinya.
“Ada apa ?” tanya hakim.
“Kami ada masalah”, jawab salah seorang tamunya.
“Alhamdu lillah, selamat datang, selamat datang. Selama bertahun-tahun aku merindukan kejadian seperti ini. Kemari dan duduklah. Aku akan bertindak adil kepada kalian”.
Sang hakim pun bersiap-siap dengan penuh semangat untuk menggunakan ilmunya memutuskan dengan adil. Ini kasus pertama dalam 14 tahun.
“Nah, ceritakanlah persoalanmu “
“Aku membeli sebidang tanah dari dia ini. Dalam tanah itu ternyata ada harta karun emas. Pada harta itu terdapat tanda-tanda sebagai peninggalan jaman dahulu (masa sebelum Islam). Berarti harta itu adalah rikaz”
"Benar” sang hakim mengomentari.
“Bila itu rikaz, maka sudah seharusnya menjadi hak pemilik tanah pertama. Aku mendatanginya dengan membawa harta itu. Namun, ia tidak mau menerimanya. Katanya ia telah menjual tanah itu padaku” lanjut orang itu.
“Aneh………??! Inilkah pengaduanmu ? Sekarang, jawablah”, kata sang hakim pada laki-laki yang seorang lagi.
“Pak hakim yang mulia, tanah itu berikut isinya telah saya jual. Saya tidak berhak lagi atas harta itu. Waktu menjual saya tidak berkata, “Saya jual tanah ini tanpa harta karunnya”. Harta itu ada di tanah yang telah saya jual, maka sudah seharusnya harta itu menjadi milik si pembeli”, jawab laki-laki yang kedua.
“Sungguh aneh. Inikah jawabanmu ?”
“Ya”
“Bagaimana pendapat kalian ?” tanya sang hakim selanjutnya.
“Pak hakim yang mulia, anda memahami syari’at Allah, ambillah harta ini dan gunakanlah”, kata keduanya.
“Kalian berdua ingin menyelamatkan diri dan membinasakan hakimmu ya?! Tidak bisa begitu !” tukas sang hakim.
“Bila begitu adililah kami” pinta keduanya.
“Sabarlah. Kalian punya anak ?”
“Ya, aku punya anak perempuan”
“Kamu ?”
“Aku punya anak laki-laki”
“Baiklah. Keluarkan 1/5 harta itu untuk zakat, karena itu rikaz. Sisanya yang 4/5 gunakanlah untuk pernikahan putra dan putri kalian. Sekarang pergilah kalian dari tempatku”, putus sang hakim.