Syaikh Al-Junaid q.s. (menurut riwayat lain kisah ini berkaitan dengan Syaikh 'Abdul Qodir al-jailani q.s.) memiliki seorang murid yang masih muda dan sangat ia cintai. Murid-murid yang lain tergoda rasa iri melihat kecintaan guru mereka pada temannya.
Suatu hari, syaikh Al-Junaid q.s. menyuruh murid-muridnya membeli seekor ayam dan menyembelihnya di tempat yang tidak dilihat siapa pun. Apa pun yang terjadi, mereka harus kembali paling lambat saat matahari terbenam.
Satu-persatu murid-murid itu kembali dengan membawa ayam sembelihannya. Terakhir, datanglah murid yang masih muda itu dengan membawa ayam yang masih hidup.
Murid-murid yang lain mentertawakannya seraya saling berbisik, ”Betapa akhirnya murid itu tampak kebodohan dan kelemahannya. Ia jelas tidak mampu melaksanakan perintah gurunya”.
Syaikh Al-Junaid q.s. memeriksa murid-muridnya. Ia bertanya tentang apa yang mereka masing-masing lakukan untuk melaksanakan perintahnya.
Murid pertama menjelaskan bahwa ia membawa ayam ke rumahnya, mengunci pintu dan menyembelihnya.
Murid kedua mengatakan bahwa ia membawa ayam ke rumahnya, mengunci pintu, menutup tirai dan masuk ke dalam lemari tertutup baru menyembelihnya.
Murid lain mengatakan bahwa ia pun melakukan hal yang sama, hanya ia menutup matanya dengan kain, sehingga ia sendiri pun tidak melihat penyembelihannya.
Murid yang lain lagi membawa ayam ke tempat gelap, terpencil di dalam hutan baru menyembelihnya..
Murid yang lain pergi ke sebuah gua yang gelap gulita.
Akhirnya sampailah pada murid muda itu. Ia menundukkan kepala. Ayamnya masih berkotek dalam pelukannya. Dengan lirih ia berkata, “Aku telah membawa ayam ini ke rumah, namun Allah berada di segala isi rumah. Aku pergi ke tempat paling terpencil di hutan, namun Allah tetap ikut bersamaku. Bahkan, di gua paling gelap pun, Allah ada di sana. Tidak ada satu tempat pun yang Allah tidak melihatku”.
Tahulah murid yang lain, mengapa syaikh Al-Junaid q.s. mencintai murid muda itu.
Suatu hari, syaikh Al-Junaid q.s. menyuruh murid-muridnya membeli seekor ayam dan menyembelihnya di tempat yang tidak dilihat siapa pun. Apa pun yang terjadi, mereka harus kembali paling lambat saat matahari terbenam.
Satu-persatu murid-murid itu kembali dengan membawa ayam sembelihannya. Terakhir, datanglah murid yang masih muda itu dengan membawa ayam yang masih hidup.
Murid-murid yang lain mentertawakannya seraya saling berbisik, ”Betapa akhirnya murid itu tampak kebodohan dan kelemahannya. Ia jelas tidak mampu melaksanakan perintah gurunya”.
Syaikh Al-Junaid q.s. memeriksa murid-muridnya. Ia bertanya tentang apa yang mereka masing-masing lakukan untuk melaksanakan perintahnya.
Murid pertama menjelaskan bahwa ia membawa ayam ke rumahnya, mengunci pintu dan menyembelihnya.
Murid kedua mengatakan bahwa ia membawa ayam ke rumahnya, mengunci pintu, menutup tirai dan masuk ke dalam lemari tertutup baru menyembelihnya.
Murid lain mengatakan bahwa ia pun melakukan hal yang sama, hanya ia menutup matanya dengan kain, sehingga ia sendiri pun tidak melihat penyembelihannya.
Murid yang lain lagi membawa ayam ke tempat gelap, terpencil di dalam hutan baru menyembelihnya..
Murid yang lain pergi ke sebuah gua yang gelap gulita.
Akhirnya sampailah pada murid muda itu. Ia menundukkan kepala. Ayamnya masih berkotek dalam pelukannya. Dengan lirih ia berkata, “Aku telah membawa ayam ini ke rumah, namun Allah berada di segala isi rumah. Aku pergi ke tempat paling terpencil di hutan, namun Allah tetap ikut bersamaku. Bahkan, di gua paling gelap pun, Allah ada di sana. Tidak ada satu tempat pun yang Allah tidak melihatku”.
Tahulah murid yang lain, mengapa syaikh Al-Junaid q.s. mencintai murid muda itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar